Bermain di Tanah Lapang
Kemarin, saya mengajak Kirana main mandi bola di mall. Bayar Rp 15.000,00 untuk main selama satu jam. Kirana senang sekali. Lari kesana kemari, berkali-kali nyebur ke kolam bola, main ayunan, main perosotan, main mobil-mobilan. Dia tidak kelihatan capek, malah saya yang kewalahan. Tapi melihat dia gembira, saya juga senang.
Saya sedikit kasihan juga sama Kirana. Mau main-main saja harus pergi ke mall. Tidak ada tanah lapang di sekitar rumah yang bisa dijadikan tempat main. Main di jalan juga tidak aman. Motor dan mobil berseliweran, bahkan di dalam kompleks. Tempat paling aman untuknya bermain ya hanya di rumah. Dan dia pasti uring-uringan kalau seharian cuma tinggal di dalam rumah.
Kirana hanya satu dari sekian banyak anak yang butuh tempat bermain yang nyaman (dan tidak perlu bayar). Di kompleks tempat saya tinggal ini, penuh dengan rumah. Ada tanah kosong, itupun jadi kebun dan dipagari. Tidak ada lapangan. Pernah dulu ada lapangan bulu tangkis di kompleks sebelah, tapi tidak bertahan lama.Sekarang sudah ditumbuhi semen dan batu bata, calon sebuah rumah. Sempat ada tanah lapang kemarin, waktu rawa-rawa di samping rumah ditimbun. Lumayan luas. Anak-anak (dan orang dewasa juga) langsung ramai-ramai bermain di sana. Main bulutangkis, layangan, dan beberapa tim kecil yang bermain sepak bola. Kirana juga gembira sekali waktu itu. lari-lari sepuasnya di tanah kosong yang luas begitu, sebelumnya hanya bisa dilakukannya kalau dia ikut saya piknik perajut di Benteng Fort Rotterdam. Saking gembiranya, dia tidak mau pulang. Maunya main terus di lapangan. Tapi sayang, hal itu cuma bertahan beberapa hari saja. Sekarang tanah lapang itu sudah dipagari seng, sedang dalam rangka dibangun rumah-rumah lagi sepertinya. Dan anak-anak, termasuk Kirana, kehilangan lagi tempat bermainnya.
Jaman Kirana sekarang tentu lain lagi dibanding jaman saya kecil dulu. Masih banyak tanah lapang tempat bermain. Masih lumayan aman lari-lari di jalan depan rumah. Sekarang makin jarang yang begitu, terutama di kota-kota besar (kalau di desa saya yakin masih banyak tanah yang tidak terjamah batu bata dan semen). Mungkin masih ada juga, sebidang tanah yang memang dikhususkan untuk taman dan tempat bermain anak. Tapi biasanya di perumahan elite. Kalau di kompleks perumahan yang padat penduduk, boro-boro tanah lapang, teras rumah saja mungkin tidak ada. Tidak bisa dihindari juga, makin banyaknya manusia, menyebabkan makin banyak juga kebutuhan tempat tinggal. Imbasnya, anak-anak jadi makin kehilangan tempat bermain di luar rumah. Menghabiskan lebih banyak waktu di dalam rumah atau di dalam gedung lainnya. Padahal, bermain di luar rumah itu lebih menyenangkan. Entahlah, masih bisakah berharap anak-anak saya bisa merasakan hal seperti itu, bermain outdoor, tanpa harus pergi jauh-jauh dari rumah.
Saya sedikit kasihan juga sama Kirana. Mau main-main saja harus pergi ke mall. Tidak ada tanah lapang di sekitar rumah yang bisa dijadikan tempat main. Main di jalan juga tidak aman. Motor dan mobil berseliweran, bahkan di dalam kompleks. Tempat paling aman untuknya bermain ya hanya di rumah. Dan dia pasti uring-uringan kalau seharian cuma tinggal di dalam rumah.
Kirana hanya satu dari sekian banyak anak yang butuh tempat bermain yang nyaman (dan tidak perlu bayar). Di kompleks tempat saya tinggal ini, penuh dengan rumah. Ada tanah kosong, itupun jadi kebun dan dipagari. Tidak ada lapangan. Pernah dulu ada lapangan bulu tangkis di kompleks sebelah, tapi tidak bertahan lama.Sekarang sudah ditumbuhi semen dan batu bata, calon sebuah rumah. Sempat ada tanah lapang kemarin, waktu rawa-rawa di samping rumah ditimbun. Lumayan luas. Anak-anak (dan orang dewasa juga) langsung ramai-ramai bermain di sana. Main bulutangkis, layangan, dan beberapa tim kecil yang bermain sepak bola. Kirana juga gembira sekali waktu itu. lari-lari sepuasnya di tanah kosong yang luas begitu, sebelumnya hanya bisa dilakukannya kalau dia ikut saya piknik perajut di Benteng Fort Rotterdam. Saking gembiranya, dia tidak mau pulang. Maunya main terus di lapangan. Tapi sayang, hal itu cuma bertahan beberapa hari saja. Sekarang tanah lapang itu sudah dipagari seng, sedang dalam rangka dibangun rumah-rumah lagi sepertinya. Dan anak-anak, termasuk Kirana, kehilangan lagi tempat bermainnya.
Jaman Kirana sekarang tentu lain lagi dibanding jaman saya kecil dulu. Masih banyak tanah lapang tempat bermain. Masih lumayan aman lari-lari di jalan depan rumah. Sekarang makin jarang yang begitu, terutama di kota-kota besar (kalau di desa saya yakin masih banyak tanah yang tidak terjamah batu bata dan semen). Mungkin masih ada juga, sebidang tanah yang memang dikhususkan untuk taman dan tempat bermain anak. Tapi biasanya di perumahan elite. Kalau di kompleks perumahan yang padat penduduk, boro-boro tanah lapang, teras rumah saja mungkin tidak ada. Tidak bisa dihindari juga, makin banyaknya manusia, menyebabkan makin banyak juga kebutuhan tempat tinggal. Imbasnya, anak-anak jadi makin kehilangan tempat bermain di luar rumah. Menghabiskan lebih banyak waktu di dalam rumah atau di dalam gedung lainnya. Padahal, bermain di luar rumah itu lebih menyenangkan. Entahlah, masih bisakah berharap anak-anak saya bisa merasakan hal seperti itu, bermain outdoor, tanpa harus pergi jauh-jauh dari rumah.
Komentar
Posting Komentar