Mengapa Saya Memilih Bekerja Di Rumah?
Tahun 2010, beberapa bulan setelah saya menikah, saya mendaftar dan mengikuti tes untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil di salah satu Kementerian. Tes demi tes saya jalani, dan saya dinyatakan lulus sebagai CPNS. Tapi untuk beberapa alasan, saya ndak merasa bahagia, selayaknya orang yang baru diterima kerja. Awalnya saya berharap lulus, karena memang saya dan pak suami waktu itu sama-sama masih menganggur. Tapi kok pas pengumuman, dan saya betul-betul lulus, malah rasanya anyep, alias hambar. Lalu saya jadi ragu. I asked myself, "is this really what I want?". And I couldn't say yes.
Ada beberapa pertimbangan saat itu, saya sedang hamil muda, penempatan di provinsi lain, dan suami yang belum dapat pekerjaan adalah alasan utamanya. Memang sih, Acid (suami saya) ndak melarang saya bekerja. Dia justru mendukung saya untuk melanjutkan proses CPNS itu. Tapi saya mikirin wibawanya. Kebanggaan seorang laki-laki adalah ketika dia mampu menafkahi keluarganya dengan baik. Saya berusaha menjaga perasaannya sih, gimana kalau saya kerja sementara dia ndak, padahal harusnya itu adalah tanggung jawabnya.
Alasan yang ini sebenarnya ndak pernah saya omongin ke dia. Semoga saja kalau dia baca ini dia ndak jadi baper ye, gegara istrinya yang penuh pengertian ini. *ditabok*
Selain karena alasan itu, ya pada dasarnya saya memang ragu aja. Deep inside my heart, I kinda knew it wasn't meant for me. Jalan hidup saya bukan itu. Setelah diskusi dengan Acid, saya akhirnya memutuskan mundur dari pekerjaan itu. Daripada saya paksakan jalan terus, tapi sayanya ndak ikhlas kerja kan malah lebih buruk lagi.
Lalu semua orang heboh, menyayangkan keputusan saya. Malah ada orang yang baru 10 menit ketemu saya langsung bilang, "ih, bodomu!" waktu dengar soal itu. Saya cuma bisa nyengir nahan hasrat pengen nabok. Saya tahu, mereka peduli sama saya. Tapi kan saya yang jalani, mbok ya hargai saja keputusan saya tanpa nanya ini itu. Toh, itu ndak ada hubungannya sama hidup mereka. *garuk-garuk tanah*
Oke, balik ke judul. Curcolnya kepanjangan.
Long story short, sekarang saya memilih bekerja di rumah. Ndak seratus persen di rumah sih, kadang-kadang harus keluar rumah juga. Tapi intinya mah, saya ndak kerja kantoran. Selain bantuin Acid dengan usaha kecil-kecilannya, saya juga sedang mulai usaha saya sendiri di bidang craft.
Saya ndak pernah melamar pekerjaan di tempat lain setelah tes CPNS itu. Bukan karena dilarang, sayanya aja yang ndak mau. Pertama, karena saya punya anak kecil, dan ndak ada yang bantu ngurusin si bayi ini. Kedua, ya saya memang ndak minat aja kerja kantoran lagi. Dulu, sebelum menikah, saya sempat merasakan kerja kantoran yang jam kerjanya seharian. Waktu masih single sih asik-asik aja, tapi pas sudah punya anak, kok sayanya ndak yakin mampu.
Ketiga, usahanya Acid baru dirintis, jadi saya lebih memilih untuk membantu dia. Di sini saya punya tugas sebagai asisten merangkap manajer keuangan. Daripada bayar karyawan, kan mending saya yang ikut kerja, jadi uangnya ndak ke mana-mana. Pertimbangan ekonomis ini sih. Dan pelit.
Pixabay |
Keempat, bekerja di rumah jauh lebih fleksibel dalam hak waktu kerja. Saya bisa menentukan sendiri kapan saya mau bekerja, dan ini jauh lebih nyaman buat saya. Kalau capek ya berhenti dulu, ganti dengan kegiatan lain, atau main sama anak.
Pixabay |
Kelima, since I am my own boss now, saya jadi punya lebih banyak kesempatan untuk mengembangkan diri. Saya menggali banyak hal dalam diri saya, yang dulu sama sekali ndak pernah saya pikirkan. Dalam bidang craft, saya jadi selalu tertantang untuk membuat hal yang baru, yang memaksa saya untuk berpikir semakin kreatif. Dalam bidang blogging, saya tertantang untuk mengembangkan kemampuan menulis saya, dan menemukan ciri khas saya sendiri.
Bekerja di rumah, atau bisa dibilang berwirausaha (karena siapa tahu ke depannya saya bisa mengembangkan usaha dan kerjanya bukan di rumah lagi), membuat saya lebih tenang. Yang namanya deadline mah tetap ada, tapi masih bisa dinikmati lah stresnya. Jadi, saya bisa bilang kalau bekerja di rumah adalah yang paling pas buat saya. Karena yang terpenting adalah saat kita bisa menikmati pekerjaan kita, ya kan?
Nah, kalau kamu mulai berpikir untuk bekerja di rumah juga, mungkin tulisan teman saya Ovy Yanti "Sepuluh Profesi Ibu Bekerja di Rumah Yang Menggiurkan" ini bisa membantu.
Tulisan ini adalah bagian dari #KEBloggingCollab kelompok Maudy Ayunda
Wah, keputusan yang berani Mbak Ayi..Tapi daripada kita ternyata menjalani dengan setengah hati memang lebih baik enggak diambil sama sekali.
BalasHapusSemoga apa yang dijalani bersama suami kini sukses, makin maju..Juga kegiatan bekerja di rumah yang Mbak Ayi tekuni membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Aamiin
Aamiin... Yang penting kerja itu harus dari hati. Ya kan mbak?
Hapus*toss sesama mamak-mamak bekerja dari rumah *
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusdan inilah yang sebenarnya di cari2 orang, hehee wanita yang pengertian dan bisa membaca situasi dan kondisi. insyaallah jalan yang tepat kk :D
BalasHapusRassulullah pernah bersabda, dari 10 pintu rezeki, 9 diantaranya datang dari berdagang. Menjadi seorang crafter juga nggak pernah ada dalam rencana hidup saya, tapi saya pernah merasakan dapat rezeki berlimpah dari cuma duduk di rumah sambil megang tang sama kawat. Nggak percaya bisa kayak gitu, tapi nyata. Allah Maha Besar, rezeki bisa datang dari mana saja. Yang penting sebagai istri tugas utamanya ya mengurus anak-anak dan mendampingi suami, udah paling bener banget deh pilihan mu dek Ayi.
BalasHapusSaya pun pernah merasakan kuang lebih 10 tahun sebagai pekerja kantoran.
BalasHapusDan emang gak ada yang kalahin nikmatnya perasaan bisa menjalankan bisnis sendiri dari rumah dengan tetap bisa mengurus pekerjaan domestik dan tentu saja merawat keluarga.
Saya dua kali sudah ikut tes cpns... dua2nya jadi korban TKP. Dan masih semangat ikut tahun depan. Hahaha.
BalasHapusKalau saya pribadi bakal memilih pekerjaan yang membuat saya nyaman & iklas menjalaninya. Entah itu di kantor ataupun di rumah. Yang penting kenyaman. Salut sama kk ayi. ^_^
Salut ma kamu Ayi. Luar biasa keputusannya. Saya percaya apa yang Ayi putuskan itulah yang Allah takdirkan. Buktinya sekarang ini Ayi eksisnya di temlat lain bukan? Tetap semangat dan sukses selalu bersama keluarga.
BalasHapusTerharu ka' baca ini, Ayi.
BalasHapusMirip alasan ta', kecuali bagian "memikirkan kewibawaan suami" :D
Saya ndak tega kerja di luar rumah karena memikirkan anak-anak saya. Saya tahu kalau saya capek, saya bisa uring2an di rumah. Mana mamo engineer ndak ada yang kerja setengah hari toh. Bagaimana kalo pulangnya malam trus stres hadapi rumah dan anak2, saya akan super koro2ang.
Suamiku yang sering dibilangi orang kalo ketemu, "Pasti ko larang istrimu kerja toh?" :D Soalnya orang2 mengira saya punya potensi untuk berkarir di kantoran.
Daan, alhamdulillah, saya ndak menyesal dengan keputusan itu. Ngeblog sekarang saya merasa punya kerjaan yang menyenangkan. Rasanya ndak kerja tapi kerja. Kerja juga tapi ya senang2 terus. Bukankah ini nikmat Allah yang luar biasa? :)