Menapaki Jejak Sejarah
Seberapa kenal kamu dengan para pahlawan? Tahukah kamu kisah hidup mereka yang namanya diabadikan menjadi nama jalan yang kamu lalui setiap hari? Pernahkah kamu setidaknya mendengar cerita perjuangan mereka dalam merebut kemerdekaan negara ini?
Pelajaran sejarah, bagi sebagian besar orang dianggap sebagai pelajaran yang paling membosankan. Setidaknya itulah yang saya ingat dari masa sekolah saya belasan tahun yang lalu. Biasanya pada saat jam pelajaran sejarah, para siswa lebih suka sibuk sendiri dibanding memperhatikan guru yang sedang menjelaskan di depan kelas. Kadang malah mereka memilih membolos. Iya, ini jelek, jangan ditiru. Mengerti atau tahu tentang sejarah hanya sekadar syarat kelulusan. Setelah ujian selesai ya sudah, lupa lagi.
Padahal, kita ndak akan ada di tempat kita sekarang tanpa perjuangan para pahlawan pendahulu. Kita mungkin ndak akan menikmati kemerdekaan seperti sekarang tanpa darah dan keringat mereka. Sepatutnyalah kalau kita menghargai perjuangan mereka dulu. Tapi pada kenyataannya, kebanyakan pahlawan hanya tinggal nama yang diabadikan sebagai nama jalan atau gedung, tanpa banyak yang tahu kisah hidupnya.
Kiri-kanan : Kak Mugniar, Kak Irma Devita, Kak Anwar Jimpe, dan Bapak Tjahjo Widodo |
Kenyataan seperti itulah yang membuat Irma Devita resah. Kakeknya, Letkol inf. Moch. Sroedji, adalah Komandan Brigade III Damarwoelan Divisi I TNI Jawa Timur, yang gigih melawan kembalinya pasukan tentara Belanda selepas kemerdekaan Republik Indonesia. Beliau berjuang di delapan kabupaten di Jawa Timur, mulai dari Kediri, Blitar, Lumajang, hingga ujung Banyuwangi. Sepak terjangnya yang tanpa takut melawan tentara Belanda menjadikannya target buruan, dan akhirnya gugur di medan perang. Namanya diabadikan menjadi nama jalan sepanjang 1.192 km, di sepanjang jalan yang pernah dilaluinya semasa berjuang dulu. Bahkan, patung Letkol Moch Sroedji berdiri tegak di depan Kantor Bupati Jember hingga sekarang. Meski demikian, ndak banyak yang tahu kisah beliau, bahkan ndak banyak yang tahu siapa sosok patung tersebut.
Saya bersama Kak Irma Devita |
Berangkat dari keresahan tersebut, serta keinginan untuk menunaikan janjinya pada sang nenek, Kak Irma menuliskan kisah hidup dan perjuangan sang kakek dalam sebuah novel dan serial komik yang diberi judul "Sang Patriot". Beliau menghabiskan waktu kurang lebih lima tahun untuk riset dan penulisan, di tengah-tengah kesibukannya sebagai seorang praktisi hukum. Kak Irma memilih novel dan komik dengan harapan agar cerita sejarah ini lebih mudah diterima oleh semua kalangan. Bukan hanya untuk sekadar dikenal kembali, tapi juga agar kita dapat meneladani para pahlawan ini. Usahanya pelan-pelan membawa hasil. Sekarang mulai banyak buku-buku novel yang juga menceritakan kisah hidup Letkol Moch. Sroedji. Selain itu, beliau juga diajukan sebagai Pahlawan Nasional oleh pemerintah daerah setempat.
Cerita Kak Irma tentang proses penulisan novel dan komik tersebut beliau sampaikan saat kami bertemu bersama teman-teman bloger dan Lembaga Lingkar (pegiat sejarah), hari Minggu 31 Maret 2019 yang lalu, di Warunk Upnormal, Jl. Andi Jemma, Makassar. Dalam diskusi pagi itu hadir juga Bapak R. Tjahjo Widodo (Bakorwil 5 Jember), dan Kak Anwar Jimpe (penulis dan penerbit Inninawa) sebagai panelis dan narasumber.
Kak Irma bukan hanya menceritakan pengalamannya dalam menulis novel Sang Patriot. Kami juga berdiskusi tentang bagaimana membuat generasi muda kembali tertarik membaca sejarah. Sama halnya di Jawa Timur, Sulawesi Selatan juga punya banyak pahlawan yang kisah hidupnya kurang diketahui oleh masyarakat umum. Menurut Kak Jimpe, salah satu penyebabnya adalah karena sulitnya akses untuk mendapatkan informasi tentang para pahlawan tersebut. Belum banyak pula kisah pahlawan yang ditulis dalam bentuk karya tulis populer seperti novel.
Menurut saya, penyajian cerita sejarah dalam bentuk novel atau komik ini menarik. Membaca novel Sang Patriot, sama sekali tidak membosankan seperti membaca buku teori sekolah dulu. Dari gaya menulis Kak Irma, saya bisa membayangkan dan ikut larut dalam cerita zaman perang kemerdekaan tersebut. Sayang, komiknya masih kurang menarik. Format gambarnya masih seperti format komik zaman dulu, mengingatkan saya pada komik Mahabarata karya RA Kosasih. Penikmat komik model ini sangat terbatas, dan sepertinya kurang cocok bagi generasi sekarang yang terbiasa dengan komik ala Jepang. Kak Irma bilang, memang format komik tersebut masih awal. Selanjutnya akan dibuat versi turunannya yang lain, dan tidak menutup kemungkinan dengan format yang lebih kekinian agar bisa lebih diterima oleh generasi millenial.
Selain dalam bentuk tulisan ada banyak cara yang bisa menarik minat masyarakat khususnya anak muda untuk kembali mengenal para pahlawannya. Bagi yang suka traveling dan eksis di media sosial, bisa dengan cara membuat wisata sejarah dengan tampilan yang instagramable, atau dengan membuat games semacam Amazing Race. Bagi penggila gadget, bisa disajikan dalam bentuk game, atau webtoon. Belajar sejarah bisa menyenangkan, jika disajikan dalam bentuk yang tepat, menurut saya. Jadi, seharusnya tidak ada alasan untuk tidak menghargai sejarah. Bukan begitu?
Mantul yah Ibu Irma Devita, Jarang sekali ditemukan kelauarga Pahlawan yang ingin menulis rekam jejak Kakeknya. .Ada novel lengkap komiknya juga agar bisa di baca semua kalangan.
BalasHapusIya, risetnya juga ndak main-main. Sampai 5 tahun..
HapusJalan sejarah adalah jalan sunyi. Namun, kini beragam cara terpampang untuk mengenalkan sejarah pada penerus. Salut untuk Ibu Irma!
BalasHapusMembuat cerita sejarah dalam bentuk komik memang sepertinya akan mengena sekali untuk anak zaman sekarang yang lebih visual. Lebih gampang dicerna kalau banyak gambar-gambarnya.
HapusSejarah memang akan terputus jika tak diturunkan baik secara lisan maupun tulisan, sungguh mulia cita-cita mbak Irma Devita dalam meneruskan sejarah perjuangan Indonesia kepada para generasi muda.
BalasHapusKalo saya sih suka dengan pelajaran sejarah.
BalasHapusSayang sekali karema sekarang ini banyak anak muda yang gak kenal lagi siapa pahlawan nasional.
Weits jangan salah, sejarah adalah pelajaran yang paling saya suka hahaha.
BalasHapusSayangnya belum pernah ketemu guru sejarah yang gaya penyampaiannya asyik. Yang ada hanya guru yang senang menyuruh murid menghapal. Jadi pantaslah kalau banyak yang bete dan bosan.
Ibu Irma tahu betul bagaimana cara agar sejarah tetap tak lekang oleh zaman. Beliau tahu, novel dan komik bisa menyentuh segala lini. Termasuk melaksanakan kegiatan seperti di atas dan mengundang narasumber serta peserta yang juga hebat. Salut untuk seluruh peserta. (Tabe' masih adakah buku, kak? )
BalasHapusMenarik memang ketika membaca sejarah dalam bentuk fiksi. Jadi penasaran dengan novel Sang Patriot ini apalagi ditambah riset pasti sangat menarik untuk dibaca
BalasHapusBuku2 itu dmn skrg, yg sang patriot. Kayak tertarikka bacakihh. Pinjam dong hehee.
BalasHapusJas merah jgn sekali kali melupakan sjearah
Saya dulu paling malas kalo disuruh belajar sejarah, apalagi kalo gurunya galak. Prinsip ku toh, yang lalu biarlah berlalu :D
BalasHapusBener kak, Perlu ada inovasi yang menyesuaikan dengan keadaan anak millenial sekarang untuk mengenalkan sejarah. Tapi semangat bu Irma Devita memang luar biasa😊
BalasHapusKegiatan yang seperti ini patut di agendakan secara kontinu. Biar orang2 kenal dengan dan dekat sejarah dan tidak hanya terpaku pada cerita2 pendek. Mantul.
BalasHapusYup, orang2 mungkin hanya tahu sebatas nama pahlawan (apalagi pahlawan yang tidak setenar Jend Sudirman) jika hanya dijadikan nama jalan tanpa tahu kisah hidupnya. Beda hal bila kisah heroik perjuangan pahlawan tersebut diabadikan dengan tulisan. So salut nih sama mbak Irma Devita yang bisa memenuhi janjinya denga mengabadikan kisah perjuangan si kakek lewat Novel dan serial komik Sang Patriot ini .
BalasHapusSaya juga suka baca Sejarah dan etah kenapa dari dulu nilai sejarah lebih tinggi daripada nilai pelajara
BalasHapusekonomi.
Bagus juga event seperti ini cara mengenalkan pahlawan dengan cara yang berbed. Salut sama ibu Irama Deswita
Salut sama kak Irma, membukukan sejarah sebelum semua hilang Tak berbekas dan tak terkenang. Jadi ingat pernyataan kalau bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya
BalasHapus