Lawan! Hentikan kekerasan terhadap perempuan!

Minggu yang cerah. Pagi ini kami berencana piknik di Fort Rotterdam, bersama komunitas perajut Qui-Qui Makassar. Piknik perajut sebenarnya kegiatan rutin sebulan sekali. Tapi tiga bulan terakhir sempat ditiadakan karena cuaca yang tidak bersahabat. Hujan tiap hari. Karena cuaca sudah mulai bersahabat, maka kami pun berpiknik kembali. Meskipun sempat ada kekhawatiran, mengingat hari ini adalah Imlek, Tahun Baru China, yang identik dengan hujan deras. Untung, tahun ini hujan tidak turun saat Imlek.

Ada yang istimewa di piknik perajut kali ini. Bukan sekedar berpiknik sambil merajut. Kami merangkaikannya dengan kegiatan One Billion Rising, acara ngobrol santai tentang kekerasan terhadap perempuan. One Billion Rising adalah gerakan internasional yang mengundang satu miliar perempuan dan siapa saja yang peduli untuk walk out, menari, bangkit, dan menuntut penghentian kekerasan terhadap perempuan. Seharusnya sih, ada acara tari-menarinya, karena tagline dari kampanye ini adalah "Strike! Dance! Rise!" Tapi berhubung baru direncanakan dua hari sebelumnya, maka untuk Makassar, kegiatannya diganti menjadi obrolan santai (karena kata diskusi terlalu berat, hehe). Dan karena waktu yang mepet, penyebaran informasi tentang kegiatan ini hanya bisa disampaikan lewat media jejaring sosial.

Logo One Billion Rising Makassar

Saya datang jam 11.00 lewat. Janjiannya sih jam 10.00, tapi sepertinya saya sudah terkena virus jam karet, jadi suka terlambat. Ini bukan prestasi, tentu saja. Saat saya datang, teman-teman sudah berkumpul. Bukan hanya dari komunitas perajut Qui-Qui, tapi hadir juga teman-teman dari Sokola Pesisir, Sehati Makassar, dan Komunitas Lego-lego. Tidak lama kemudian, obrolan santai dimulai. Sartika, teman saya, seorang perajut sekaligus konselor kesehatan reproduksi, menjelaskan apa itu One Billion Rising. Lalu Barak, teman saya yang lain, yang juga seorang laki-laki, menceritakan beberapa kasus pelecehan yang pernah dia dengar. Termasuk kasus yang pernah dia alami sendiri. Selanjutnya, obrolan berjalan semakin seru.

Suasana piknik asik OBR Makassar (foto : OBR Makassar)

Dari obrolan sepanjang siang itu, ada beberapa hal yang bisa saya simpulkan :
  1. Kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan adalah hal yang banyak sekali terjadi di sekeliling kita, tapi banyak yang tidak sadar, karena tidak "tersuarakan" dengan baik.
  2. Pelaku kekerasan dan pelecehan bisa siapa saja, termasuk orang dekat korban. Dengan latar belakang apa pun, bahkan yang berpendidikan tinggi sekalipun.
  3. Korban kekerasan dan pelecehan juga bisa siapa saja. Tidak tergantung usia, atau penampilan. 
  4. Korban kekerasan dan pelecehan banyak yang tidak berani bicara karena takut atau malu. Terutama jika pelakunya adalah orang dekat, dalam hal ini keluarga.
  5. Alasan lain korban tidak mau bicara adalah karena malas berurusan dengan proses hukum yang berbelit-belit. Untuk proses awal saja minimal membutuhkan waktu 3 bulan. Tentu saja itu akan menguras tenaga dan emosi. Apalagi jika harus kembali mengingat-ingat kejadian yang mereka alami.
  6. Masyakarakat awam belum banyak yang mengerti prosedur pelaporan kasus kekerasan ke kepolisian. Korban kekerasan berhak meminta untuk dimintai keterangan oleh polwan. Untuk visum, hanya bisa dilakukan di Rumah Sakit yang berkompeten, dan dokter yang memeriksa harus didampingi oleh perawat, atau petugas perempuan. Tidak pernah ada cek visum yang dilakukan di kantor polisi, dan tidak bisa dilakukan hanya oleh dokter saja. Proses visum memakan waktu satu hari. 
  7. Kekerasan terhadap perempuan bukan hanya kekerasan fisik. Kekerasan terhadap perempuan juga meliputi kekerasan psikis, seksual dan finansial. Biasanya hanya kekerasan fisik seksual yang dianggap sebagai "kekerasan", sebaliknya kekerasan psikis dan kekerasan finansial sering diabaikan sebagai bentuk kekerasan. Ini disebabkan karena kekerasan fisik dan seksual lebih mudah terlihat dan dibuktikan, karena ada luka. Kekerasan psikis dan finansial tidak terlihat secara kasat mata, tapi sesungguhnya sama-sama menimbulkan efek trauma mendalam yang sama. Ini yang masih sering luput dari pandangan masyarakat.
  8. Salah satu cara untuk menghentikan atau setidaknya mengurangi tindak kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan ini adalah dengan mengajarkan masyarakat, terutama pada anak-anak (karena anak-anak sering sekali menjadi korban) untuk berani bersuara dan bicara kepada siapapun jika mengalami tindak kekerasan dan pelecehan. Kita harus mengajarkan pada anak-anak tentang pendidikan seks yang benar, agar mereka tahu batas mana yang benar dan salah, mana yang boleh dan tidak. Pola pemikiran harus diubah sejak dini, bahwa tubuh seseorang adalah otoritasnya, dan tidak boleh dianggap sebagai objek oleh siapapun.
Sejujurnya, saya pribadi berpikir menghentikan tindak kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan adalah perjuangan yang sangat berat. Itu sudah terjadi sejak jaman nenek moyang kita, bahkan seringkali dianggap sebagai kewajaran. Tapi saya percaya, kita bisa melawan. Jadi perempuan, bicaralah! Bersuaralah! Kenali tubuhmu, kenali hakmu! Ajarkan anak-anakmu untuk melindungi diri mereka! Lawan! Hentikan kekerasan terhadap perempuan!


Komentar

Postingan Populer