Romantisme Kartu Lebaran

Buat saya, suasana Ramadan dan lebaran selalu membawa nostalgia tentang masa kecil. Belajar mengaji dan agama tiap sore di masjid, sholat tarawih khusus anak-anak di Balai RK (Rukun Kampung) dengan dongeng tentang Nabi oleh kakak-kakak remaja masjid, mengejar tanda tangan imam sholat di buku kegiatan Ramadan, jalan-jalan sehabis sholat subuh sampai terang matahari, takbir keliling sambil bawa obor, sampai halal bi halal di masjid dengan orang sekampung selepas sholat Ied di lapangan.

Selain yang saya sebut tadi, ada lagi satu tradisi menjelang lebaran yang saya rindu. Berburu kartu lebaran. Sebagai anak-anak dan ABG era 90an, kadar kekerenan kita salah satunya diukur dari berapa kartu ucapan yang kita dapat waktu lebaran. Padahal yang kirim ya teman-teman sekelas juga sih. Biasanya berburu kartu lebaran ini sudah mulai dilakukan di minggu kedua Ramadan. Ukuran dan desainnya macam-macam. Umumnya sih pilih yang gambarnya lucu-lucu dan colorful, dengan dua ikon wajib, ketupat dan bedug. Kalau sekarang, varian kartu lebaran sudah nggak sebanyak dulu. Yah, mungkin karena sudah sangat jarang orang yang saling berkirim kartu lebaran, jadi makin jarang juga yang produksi. Kadang ada juga yang bikin kartu sendiri. Lalu di kartu itu biasanya akan ditulis ucapan personal. Makin dekat pertemanan kita, makin panjang ucapannya, semacam curhat. Dan kalau yang dikirimi adalah gebetan, niscaya yang tertulis adalah kata-kata mutiara, bahkan kadang tanpa nama. Biar ala-ala secret admirer gitu. Padahal kalau nda ada namanya, gimana mau memaafkan kan ya?

Ada rasa bahagia tiap pak pos datang membawa kartu ucapan yang biasanya datang berhari-hari setelah lebaran, karena kantor pos yang overload. Deg-deg an gimanaaa gitu rasanya. Padahal inti isinya ya cuma selamat lebaran mohon maaf lahir dan batin sih. Kalau yang datang adalah kartu dari gebetan, maka kartu itu akan dibaca berkali-kali sampai lecek, meskipun di dalamnya cuma ada ucapan template dari kartunya. Lalu kartu itu akan ditunjukkan ke teman-teman se-geng dengan rasa penuh kege-eran. Padahal yang kirim mah cuma basa-basi doang. PHP gitu.

Lalu, datanglah era teknologi canggih bernama ponsel. Mengirim pesan semudah menggerakkan jempol. Untuk mengucapkan selamat lebaran nggak perlu lagi susah-susah ke toko buku cari kartu, lalu nulis ucapan, lalu pergi ke kantor pos atau kirim lewat kotak surat. Cukup duduk manis, atau sambil baring-baring juga boleh, pencet-pencet tombol keypad, terkirim deh ucapan selamat lebarannya. Bahkan seringnya nggak perlu lagi capek-capek mikir bikin kalimat ucapan, cukup forward saja pesan yang sudah diterima sebelumnya. Bahkan sekarang, saat ponsel semakin pintar, makin jarang yang kirim ucapan satu-satu, orang per orang. Tinggal kirim broadcast message, atau kirim di group chat, atau posting di sosial media, dan voila...! Ucapan selamat lebaranmu sampai ke semua orang. Bahkan ke orang yang tidak diharapkan sekalipun.

Saya, termasuk orang yang berbuat seperti itu. Atas nama kepraktisan (dan pengiritan), saya tinggalkan tradisi yang  mulai dianggap primitif dan kuno tersebut. Tak pernah lagi ada ketukan pak pos di pintu mengantarkan sepucuk kartu lebaran. Kalaupun pak pos datang, biasanya dia hanya mengantarkan barang pesanan dari online shop. Padahal sejujurnya, saling berkirim kartu lebaran itu membuat suasana lebaran lebih menyenangkan, lebih ada gregetnya, lebih romantis #eh. Sebasa-basinya seseorang mengirim kartu lebaran, dibutuhkan usaha yang jauh lebih ribet daripada pencet-pencet tombol keypad. Mereka rela meluangkan waktunya untuk memilih kartu, menulis ucapan dan mengeposkannya. Jadi bikin yang menerima berasa spesial nggak sih? Kalau saya sih iya. Ah, mungkin sesekali saya perlu berkirim kartu lebaran lagi. Dan saya mungkin akan mengenalkan tradisi lama itu pada Kirana. Sekedar sebagai pengingat  kadang the old fashioned way itu lebih seru daripada teknologi.

NB : kalau ada yang mau ngirimin saya kartu lebaran, saya akan dengan senang hati menerima 