Menjaga Akar Tradisi, Dari Jogja Untuk Indonesia


Mata saya menerawang ke luar kaca jendela mobil yang membawa saya pulang ke rumah orang tua saya. Dua tahun sejak terakhir pulang, awal September tahun lalu saya kembali menginjakkan kaki di Jogja. Sejak menikah tujuh tahun yang lalu, saya tinggal di Makassar, hanya pulang setidaknya dua tahun sekali.

Di mata saya yang sekarang jadi penduduk kota lain, dan berstatus turis tiap datang ke Jogja, saya merasa betapa Jogja mulai banyak berubah. Sepanjang jalan, saya beberapa kali bertanya pada adik saya yang menyetir mobil, "Ini sejak kapan ada bangunan ini?" Seperti halnya kota-kota besar yang lain, Jogja pun bertumbuh pesat. Semakin banyak bangunan baru yang tidak saya kenali. Mall, hotel, cafe, yang hampir semua berbalut nuansa modern dan kekinian.


Di tengah gempuran pembangunan fisik yang modern itu, senang rasanya mendengar adat dan budaya Jawa masih dipertahankan dan dikelola dengan baik. Festival-festival budaya makin sering digelar. Sayang waktu saya pulang tahun lalu sedang tidak ada jadwal festival. Selain festival, komunitas-komunitas dan kegiatan-kegiatan budaya pun makin banyak diminati. Setidaknya itu yang saya lihat di sosial media belakangan ini.


Misalnya Jogedan Selasa Legen di Yayasan Pamulangan Beksa Sasminta Mardawa. Kegiatan yang digelar tiap Selasa Legi untuk menghormati pendiri yayasan, Rama Sas, ini selalu banyak peminatnya, dan sebagian besar anak muda. Saya pernah belajar tari di yayasan ini waktu kecil, sejak kelas dua SD sampai kelas satu SMP. Tapi selama saya di sana, jarang saya lihat orang belajar menari sebanyak yang saya lihat di foto-foto Jogedan Selasa Legen. Mungkin karena kegiatan ini terbuka untuk umum, jadi banyak juga penari yang bukan anggota sanggar juga ikut berpartisipasi. Meski begitu, senang sekali rasanya melihat banyak yang makin tertarik dengan tari klasik Jawa. Semua tari yang ditampilkan di Jogedan Selasa Legen adalah karya Alm. Rama Sasminta Mardawa. Selain latihan untuk umum, biasanya ditampilkan pula tari yang dibawakan oleh para penari berkostum lengkap. Dan tentu saja, ini menarik bagi para wisatawan.


Jogedan Selasa Legen (sumber : ypbsm)

Di bidang musik, ada Komunitas Gayam 16, yang konsisten di musik gamelan, terutama gamelan kontemporer. Mereka rutin menggelar Yogyakarta Gamelan Festival (YGF) tiap tahun, yang bukan hanya diisi oleh musisi gamelan dalam negeri tapi juga luar negeri. Saya pernah satu kali menonton YGF di tahun 2010 (iya, baru satu kali, malu-maluin ya?), dan sepanjang pertunjukan saya cuma bisa melongo terkagum-kagum. Gedung Taman Budaya waktu itu penuh penonton. Banyak yang tidak kebagian kursi dan terpaksa duduk lesehan, termasuk saya. Tapi semua penonton, banyak di antaranya wisatawan mancanegara, menikmati pertunjukan dengan khusyuk. Selain menggelar YGF, Komunitas Gayam 16 ini juga sering diundang ke luar negeri untuk tampil dan memperkenalkan gamelan. Keren deh.

Komunitas Gayam 16 (sumber : Instagram @komunitasgayam16)

Komunitas Gayam 16 memang tidak fokus ke gamelan/karawitan pakem atau tradisional, tapi memadukannya dengan musik modern. Mereka menunjukkan bahwa kita bisa menjadi modern dengan tetap mempertahankan unsur tradisi. Seperti halnya Jogja Hip Hop Foundation. Lima anak muda yang mengusung musik hip hop, lengkap dengan DJnya. Yang membuat mereka unik, lagu mereka berbahasa Jawa, dan di dalam musiknya selalu ada sentuhan musik gamelan, bahkan kadang disertai lantunan tembang oleh sinden. Liriknya sebagian besar berupa kritik sosial, baik tentang Jogja maupun Indonesia. Dengan keunikan tadi mereka bisa dibilang menjadi salah satu ikon musik hip hop di Indonesia. Mereka bahkan pernah diundang oleh U.S. Department of State's Bureau of Educational and Cultural Affairs dan New England Foundation for the Arts untuk tur di Amerika Serikat pada tahun 2012. Mereka tampil di depan penikmat hip hop Amerika, yang sama sekali tidak paham bahasa Jawa. Tapi mereka bisa membuktikan bahwa musik mereka bisa diterima dengan baik di sana.

Jogja Hip Hop Foundation (sumber :killtheblog)

Menjadi Jogja, adalah bagian dari menjadi Indonesia. Jogja dengan segala budaya dan tradisinya, adalah bagian dari keberagaman Indonesia. Yayasan Pamulangan Beksa Sasminta Mardawa, Komunitas Gayam 16, atau Jogja Hip Hop Foundation membuktikan jika budaya dan tradisi adalah kekuatan. Mereka bisa membawa nama baik Indonesia dengan menjaga akar tradisinya, dengan menjadi Jogja. Saya yakin, masih banyak selain mereka yang melakukan hal serupa. Bukan hanya dalam bidang seni, tapi di segala bidang. Budaya dan tradisi adalah nafas bagi orang Jogja, bahkan di tengah gempuran modernisasi sekalipun. Semoga selalu begitu.

Komentar

Postingan Populer