Dunia di Mata Kecilku
Lagi senang bernostlagia, mengingat masa kecil. Gara-gara baca "Seratus Bagiku" di blog-nya Dewi Lestari. Masa-masa yang hampir terlupakan itu tiba-tiba kembali berseliweran di kepalaku. Otakku seperti memutar kembali film-film lama yang hampir bulukan karena lama tidak dibuka.
Masa kecilku sederhana, tapi waktu itu terasa begitu mengagumkan dan ajaib. Aku waktu kecil gampang sekali terheran-heran hanya karena hal sepele, gumunan kalau orang jawa bilang. Aku ingat waktu aku dengan lugunya melongok isi televisi dari bagian belakangnya karena heran dari mana orang-orang di dalam televisi itu berasal. Bayanganku saat itu, televisi adalah dunia tersendiri, dan orang-orang di dalam televisi itu adalah orang-orang mini, yang memang hidup di dalam kotak kecil itu. Maka ketika aku melongok dari belakang televisi, di bagian yang berongga itu, dan aku tidak melihat apa-apa di sana, kecuali kabel-kabel, aku pun protes. Di mana orang-orang mini itu? Baru setelah ibuku menjelaskan, dan setelah aku membaca buku "Seri Ilmu Pengetahuan : Televisi" lungsuran dari bapakku, aku mengerti. Tidak paham betul cara kerja televisi sih, tapi setidaknya aku mengerti kalau di dalam kota kecil itu tidak ada orang-orang mini.
We were happy as children, me and my siblings. Selalu ada cara untuk bersenang-senang, dengan semua keterbatasan yang ada. Untungnya punya adik yang banyak dengan selisih umur yang tidak jauh adalah aku jadi punya banyak teman bermain, tanpa perlu keluar rumah. Aku juga punya banyak teman di luar rumah, tapi lebih banyak waktuku kuhabiskan di rumah. Main petak umpet adalah favorit kami. Sembunyi di kolong meja, kolong tempat tidur, bahkan di dalam lemari. Main engklek di halaman rumah, melempar orang dengan buah talok mentah dari atas pohon, main karet, main bekel, main dakon, main orang-orangan dari lidi yang dipotong kecil-kecil, main oyak dhodhok dengan anak tetangga, dan permainan-permainan tradisional lainnya, yang anak sekarang mungkin tidak tahu.
Bapakku jarang membelikan mainan. He made toys for us, or we made them ourselves. Aku ingat bapak pernah membuat wayang-wayangan dan mendalang untuk kami, dengan cerita fabel. We were amazed, terdiam dan menghayati sepanjang pertunjukan. It was beautiful.
We laughed a lot. We laughed at everything.
Bahkan ketika atap bocor kala hujan, dan kamar jadi tergenang air, kami masih tertawa dan berpura-pura kami sedang ada di atas sampan.
Atau ketika aku ingin sekali punya sepeda roda dua, dan yang kupunya cuma sepeda roda tiga, lalu dengan bodohnya roda belakang aku lepas satu, dan aku berkeliling kampung dengan sepeda roda dua baru (sepeda roda tiga yang roda belakangnya tinggal satu), miring-miring karena tidak bisa jalan. Kami tertawa karena sadar kalau itu adalah tindakan yang super konyol.
Those moments are beautiful. Sederhana, tapi sangat bermakna. Membuatku kembali berpikir, why is it so hard now to feel "happy" over simple things? Dunia "serba tertawa" itu lama kelamaan menghilang, digantikan dunia "serba stress". Dunia yang dulu "serba indah" meskipun di dalam kondisi yang tidak indah, berbalik menjadi dunia yang "serba tidak indah" meskipun sebenarnya sudah sangat indah. Well, sepertinya aku perlu lebih banyak bersyukur, dan lebih menempatkan diri di dalam bingkai kehidupan, bukan memaksakan kehidupan berada di dalam bingkai diriku.
Masa kecilku sederhana, tapi waktu itu terasa begitu mengagumkan dan ajaib. Aku waktu kecil gampang sekali terheran-heran hanya karena hal sepele, gumunan kalau orang jawa bilang. Aku ingat waktu aku dengan lugunya melongok isi televisi dari bagian belakangnya karena heran dari mana orang-orang di dalam televisi itu berasal. Bayanganku saat itu, televisi adalah dunia tersendiri, dan orang-orang di dalam televisi itu adalah orang-orang mini, yang memang hidup di dalam kotak kecil itu. Maka ketika aku melongok dari belakang televisi, di bagian yang berongga itu, dan aku tidak melihat apa-apa di sana, kecuali kabel-kabel, aku pun protes. Di mana orang-orang mini itu? Baru setelah ibuku menjelaskan, dan setelah aku membaca buku "Seri Ilmu Pengetahuan : Televisi" lungsuran dari bapakku, aku mengerti. Tidak paham betul cara kerja televisi sih, tapi setidaknya aku mengerti kalau di dalam kota kecil itu tidak ada orang-orang mini.
We were happy as children, me and my siblings. Selalu ada cara untuk bersenang-senang, dengan semua keterbatasan yang ada. Untungnya punya adik yang banyak dengan selisih umur yang tidak jauh adalah aku jadi punya banyak teman bermain, tanpa perlu keluar rumah. Aku juga punya banyak teman di luar rumah, tapi lebih banyak waktuku kuhabiskan di rumah. Main petak umpet adalah favorit kami. Sembunyi di kolong meja, kolong tempat tidur, bahkan di dalam lemari. Main engklek di halaman rumah, melempar orang dengan buah talok mentah dari atas pohon, main karet, main bekel, main dakon, main orang-orangan dari lidi yang dipotong kecil-kecil, main oyak dhodhok dengan anak tetangga, dan permainan-permainan tradisional lainnya, yang anak sekarang mungkin tidak tahu.
Bapakku jarang membelikan mainan. He made toys for us, or we made them ourselves. Aku ingat bapak pernah membuat wayang-wayangan dan mendalang untuk kami, dengan cerita fabel. We were amazed, terdiam dan menghayati sepanjang pertunjukan. It was beautiful.
We laughed a lot. We laughed at everything.
Bahkan ketika atap bocor kala hujan, dan kamar jadi tergenang air, kami masih tertawa dan berpura-pura kami sedang ada di atas sampan.
Atau ketika aku ingin sekali punya sepeda roda dua, dan yang kupunya cuma sepeda roda tiga, lalu dengan bodohnya roda belakang aku lepas satu, dan aku berkeliling kampung dengan sepeda roda dua baru (sepeda roda tiga yang roda belakangnya tinggal satu), miring-miring karena tidak bisa jalan. Kami tertawa karena sadar kalau itu adalah tindakan yang super konyol.
Those moments are beautiful. Sederhana, tapi sangat bermakna. Membuatku kembali berpikir, why is it so hard now to feel "happy" over simple things? Dunia "serba tertawa" itu lama kelamaan menghilang, digantikan dunia "serba stress". Dunia yang dulu "serba indah" meskipun di dalam kondisi yang tidak indah, berbalik menjadi dunia yang "serba tidak indah" meskipun sebenarnya sudah sangat indah. Well, sepertinya aku perlu lebih banyak bersyukur, dan lebih menempatkan diri di dalam bingkai kehidupan, bukan memaksakan kehidupan berada di dalam bingkai diriku.
Komentar
Posting Komentar